Kamis, 16 Agustus 2007

Berhati Pelayan

"Tanpa kepemimpinan , organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bengkitnya sebuah tirani."

Kalimat pendek tersebut menegaskan kembali adanya hubungan yang sangat erat anatara kepemimpianan (leadership) dengan pelayanan (service). Agar seorang pemimpin sejati tidak beralih wujud menjadi tiran dan / atau dictator yang suka memaksakan kehendak kepada konstituen yang mengikutinya, maka perlu dipastikan behwa ia memiliki hati yang senantiasa melayani. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistic dan selfish, bukan ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan berkuasa.

Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar, terutama Islam dan Kristiani, namun mungkin juga Hindu, Konfusianisme, dan Budhisme. Tak seorangpun dianatara guru umat manusia itu yang tidak mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituen yang mengikutinya dengan hati tulus dan setia, nyaris tanpa pamrih material.

Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian belajar melayani, melainkan mereka layani dulu untuk kemudian diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi). Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri meraka sebagai “pelayan”, khusunya pelayan atau hamba Allah Yang Maha Esa. Dan karena Allah “mengutus” mereka ke dunia, maka demi Allah mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu.

Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat siap diaplikasikan dalam konteks wacana kepemimpinan mileinnium ketiga. Berbagai ajaran “sesat” yang membuang agama ke pinggir karena kehidupan terbukti keok di tengah jalan (komunisme adalah contoh yang kongkret). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam masyarakat modern dan pascamodern setelah berbagai “eksperimentasi” dalam memposisikan manusia sebagai the ideological man-nya Orde Lama.

Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acap kali dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian mereka yang menjadi pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi barat maupun timur, pemimpin acap kali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari “kasta tertinggi” sementara konstituennya adalah “kasta rendah” yang harus menerima diperlakukan sebagai “alat”, “organ”, atau “objek”. Pandangan ini “berhasil” melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lazim dan seweang-wenang. Namun dewasa ini pandangan demikian talah kehilangan argumentasi untuk dpat dipertahankan. Kesetaraan dalam hubungan antar manusia telah menjadi kesadran global yang menolak penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar apapun (jenis kelamin, ras, agama, suku, warna kulit, “barat” atau “timur”, dsb).

Hal tersebut mengingatkan kita akan sebuah adagium landasan filosofis yang mengajarkan kita terhadap perspektif kehidupan yang realitasnya kehidupan sosial sangatlah mempengaruhi kita akan keberhasilan secara hiolistik.

Sang Pembelajar (Andrias Harefa)

Tangan Pemimpin

Tangan adalah salah satu organ tubuh manusia yang paling sering dilibatkan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Mulai menggosok gigi, menyisir rambut, mambersihkan tubuh, memakai pakaian, mengangkat, menulis, menyalami, melambai, membelai, memijat, dan masih banyak lagi lainnya. Bahkan penanda yang nyaris disetarakan dengan sidik jari untuk menyatakan keunikan personal. Singkatnya, secara umum dapat dikatakan bahwa dengan tangannya manusia mengerjakan banyak pekerjaan untuk menyatakan kehadirannya sebagai manusia.Secara simbolik kita dapat bertanya, apakah yang dikerjakan oleh “tangan” seseorang yang menandakan bahwa ia layak kita sebut sebagai seorang pemimpin (leader)?

Hematnya, pekarjaan pemimpin mungkin bisa diringkas menjadi mengerjakan sejumlah pekerjaan yang membuat masing-masing konstituen mengerjakan apa yang seharusnya mereka kerjakan untuk menciptakan suatu kehidupan bersama yang secara mendasar lebih baik di masa depan.

Pemipin tidak mengerjakan “semua hal” secara langsung, sebab itu memang tidak mungkin. Pemimpin “hanya” mengerjakan pekerjaan tertentu, yaitu hanya mengerjakan pekerjaan tertentu, yakni pekerjaan yang hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas untuk memimpin. Nah, apakah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan olehj mereka yang memiliki kapasitas memimpin?

Sudah kita ketahui bersama bahkan penegasannya bahwa pekerjaan utama seorang pemimpin adalah melayani konstituennyam (mulai dari anggota keluarga, pegawai, sampai warga Negara), yang actual maupun yang potensial. Pernyataan pemimpin sebagai seorang “pemegang amanah” selaras dengan hal ini. Ia melayani bukan agar dilayani, melainkan agar konstituen yang dilayaninya dapat melayani kepentingan mereka sendiri sekaligus kepentingan kelompok.
(Andrias Harefa)

Rabu, 15 Agustus 2007

Merintis Perubahan

“Hitam putihnya sebuah organisasi, baik yang prolaba maupun yang nirlaba, dalam skala mikro maupun makro [termasuk Negara], tergantung pada kiprah para pemimpinnya. Inilah semacam adagium standar tentang krusialnya peran pemimpin, tentang sentralnya pengaruh pemimpin.

Untuk bangkit dan berjaya menjadi bangsa besar, Indonesia kini butuh sejuta pemimpin baru, sejuta program persemaian dan pelatihan kepemimp-inan baru, dan sejuta lagi judul buku baru tentang kepemimpinan. Dalam rangka inilah semua perlu memahami essensi peran seorang pemimpin. Guna suatu revolusi besar-besaran untuk kemajuan dan terciptanya performa puncak dalam basis kompetensi dunia yang semakin panasnya akibat ulah manusia yang lupa atau bahkan buta akan suatu nilai kebenaran dan keadilan.

Siapapun Anda, apa pun kini peran dan kedudukan Anda, saya berpendapat dengan pemahaman tersebut maka kita akan lebih bijak sebagai manusia dan efektif sebagai pemimpin. Percayalah!

”Masalah utama dan pertama dalam proses manajemen sebuah perubahan adalah saberapa melek “mata” para pemimpin kita dan seberapa kuat disiplin diri mereka untuk mengendalikan hawa nafsunya.”

“Perubahan adalah salah satu kata yang paling banyak digunakan orang dalam proses menuju Indonesia Baru. Dalam hampir semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat Indonesia agaknya telah sepakat bahwa untuk membuat Indonesia menjadi Negara yang besar sesuai dengan potensinya, ada banyak hal yang harus diubah, diganti, diperbarui, direformasi, direkayasa lagi, didefinisikan ulang, bahkan “diciptakan” kembali. Dalam bahasa mahasiswanya, yang dianggap mewakili suara hati nurani rakyat, yang diperlukan bukanlah perbaikan tambal-sulam, buka evolusi atau semacam continious improvement, tetapi suatu “reformasi total”, sesuatu yang “revolusioner”, lompatan kuantum, dan karenanya “radikal”.
Ketika deru topan tuntunan reformasi total sedang kencang-kencangnya, Like Wilardjo menyimpulkan secara tajam apa yang sesungguhnya diperjuangkan oleh para perintis perubahan itu, yakni bahwa: “tokoh-tokoh perintis perubahan ini dengan ancangannya sendiri-sendiri dan melalui isu sentral pilihannya masing-masing, berusaha keras mencelikkan mata kita akan adanya ancaman besar terhadap kemanusiaan dan kelangsungan hidup manusia. Ancaman itu bersumber pada kecadokan alias rabun pandangan dan kerakusan para penguasa dunia dan kaum elite kaya raya di utara, beserta koprador-kompradornya di dunia ketiga.”
Kata-kata “dengan ancangannya sendiri-sendiri dan melalui isu sentral pilihannya masing-masing” mengaskan bahwa perubahan dapat dimulai, dirintis, diperjuangkan melalui suatu bidang kepakaran dalam (kompetensi), satu hal yang disesuaikan dengan minat, bakat, talenta, concern, atau bahkan semacam “panggilan jiwa” masing-masing orang, baik secara personal maupun kelompok-organisasional, atau bahkan sebuah masyarakat-bangsa. Merintis perubahan bukanlah urusan segelintir orang yang “hebat” dan “superior”, tetapi urusan semua orang. Semua orang berpotensi untuk menjadi pioneer, agent of change, perintis perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Ilmuan, cendekiawan, politikus, dokter, ekonom, sosiolog, psikolog, pakar hokum, akuntan, wartawan, pengajar dan sebagainya, dapat (tidak harus) menjadi actor perintis perubahan. Pelajar, mahasiswa, atau bahkan masyarakat awam, rakyat jelata, juga berpotensi untuk melakukan hal itu.
Selanjutnya, kata-kata ”berusaha keras mencelikkan mata kita akan adanya ancaman besar terhadap kemanusiaan dan kelnagsungan hidup manusia” menegaskan tujuan dasar dari perjuangan merintis perubahan. Tujuan itu berkaitan den pemahaman terhadap suatu realitas, situasi dan kondisi, kebagaimanaan masa kini, yang mengandung bajhaya besar, yang berpotensi mengganggu ketentraman, yang mengancam hidup dan kehidupan manusia di masa depan. Tujuan itu berkaitan dengan upaya penyadaran untuk menyingkap tabir yang menutupi mata batin (eye of spirit), agar orang banyak dapat “membaca” tanda-tanda zaman, antisipasi, dan melakukan tindakan preventif-konstruktif untuk mencegah malapetaka yang lebih besar.
Celakanya, “ancaman itu bersumber pada pecadokan alias rabun pandangan dan kerakusan para penguasa dunia dan kaum elite kaya raya di utara beserta komprador-kopradornya di duni ketiga.” Pernyataan ini menegaskan bahwa musuh terbesar para perintis perubahan itu adalah pemegang teguh status quo, kelompok mapan yang berkuasa dan konglongmerat yang menjadi kroninya, yang tidak beridir sendiri, tetapi memiliki jaringan Internasional-global seperti mafia, yakuza, triad, dan sebagainya. Dan mungkin itu salah satu sebab utama mengapa para perintis perubahan diposisikan (bukan memposisikan diri) sebagai “oposisi”.

TOLERAN DAN TERPERCAYA

Kita ini bangsa yang multikultur, dan karenanya memiliki multi potensi. Kondisi yang serba multi itu tidak saja bisa berarti “berkat” tetapi juga “kutuk”. Bila sikap yang toleran yang antara lain ditandai kemampuan untuk saling mendengarkan, kerendahan hati, kemampuan menahan diri, berpikir kreatif-alternatif, dan keberanian menerima tanggung jawab (mengambing hitamkan diri atau kelompok sendiri), bisa ditumbuh-kembangkan dalam satu-dua decade kedepan, maka Indonesia baru akan mewujud dan tidak berubah menjadi Indonesia kotor (berantakkan menjadi bagian dari the forgetten countries seperti beberapa negara di Afrika). Bila sikap toleran tidak bisa kita kembangkan, m,aka multikultur hanya akan berarti “kutuk”. Kita perlu belajar menghentikan rasa diri (kelompok primordial) “unggul”, “superior”, “paling benar”, dan “paling berhak”, atau “paling reformis”. Kita harus belajar membuka pikiran dan hati kita dan mengakui kemungkinan melakukan berbagai bentuk kesalahan dalam mempersepsi persoalan, sekalipun kita tidak berangkat dari niat yang jahat.
Dalam konteks bisnis, jika slogan bersih, transparan, professional bisa diimplementasikan dan bukan hanya sekedar wacana tanpa akhir, maka hri dmi hari harapan kita dapat tumbuh secara wajar (tidak instant). Lalu, kita mungkin dapat memperoleh kembali “harta karun” milik kita bersama yang lama hilang, yakni kepercayaan kepada Tuhan dn kepada sesame anak bangsa (manusia). Untuk itu tak bisa lain kita harus saling mengingatkan dan saling bahu membahu menjadikan diri kita ini terpercaya (turstworthy). Integritas, karakter terpuji, dan kepribadian yang jujur perlu dijadikan pondasi bagi pengembangan kecerdasan intelektual atau berbagai bentuk kecerdasan lainnya. Kita perlu belajar mengumpulkan kembali serpihan-serpihajn kepribadian kita yang hancur berantakkan ditelan uniformitas yang dipaksakan. Kita memerlukan avidence nyata bahwa menjadi politisi atau konglongmerat tak harus “marchiavelian” (menghalalkan cara).
Hemat saya, jika sikap toleran dan terpercaya (trustworthy) ini bisa kita tanamkan kepada generasi muda di bawah usia 40-an, maka visi tentang masyarakat, warga, masyarakat madani, atau masyarakat autentik adalah “bayi” yang akan kita saksikan kelahirannya dalam 2-3 dekade mendatang.
Benarkah????...

Mendefinisikan Realitas

“Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah mengucapkan terima kasih. Dan diantara kedua hal terebut Pemimpin adalah seorang pelayan (A servant) dan seorang yang berhutang (A debtor).

Tidak mudah mendefinisikan zaman ini. Pada satu sisi, banyak orang berbicara atau menulis soal “kematian” dimana-mana. Pada sisi lain, orang bicara dan menulis tentang segala sesuatu yang “serba baru”, dan sebagainya. Di sdudut yang satu orang-orang berteriak “globalisasi”, sementara pada saat yang bersamaan berkumandang teriakan tandingan “otonomi daerah”. Orang juga bicara soal pentingnya “focus” dan “loyality”, tetapi yang serbamulti juga marak seperti: multilevel marketing, multi income, multicareer, sampai multi culturalism.

Menyebut zaman ini sebagai era informasi atau era pengetahuan pun tidak membuat kita mudah memahami maknanya. Sebab pada satu sisi kita dibanjiri oleh begitu banyak informasi dan pengetahuan yang begitu mudah diakses dari sumber-sumber pertama yang berada disudut-sudut global village mesti secara geografios letaknya dipisahkan oleh samudra luas antar-benua. Pengetahuan dunia ada diujung jari para pengguna internet yang jumlahnya terus berkembang secara eksponensial. Namun, pada sisi lain banjir data, informasi, dan pengetahuan itu justru membuat kita bingung untuk dapat memilih mana yang sebenarnya berguna dan man yang tidak berguna sama sekali. Kita semakin justru semakin kurang pengetahuan, pada saat pengetahuan itu berlebih-lebihan. Begitulah, kalau kita mengejar data, informasi ,dan pengetahuan sampai ke Amerika dan Eropa, maka sekarang informasi, data, dan pengetahuan “mengejar” kita sampai ke wilayah-wilayah yang bersifat pribadi disudut-sudut rumah kita (ingat, e-mail dan SMS dapat menjangkau banyak orang, bahkan ketika mereka sedang berada si WC rumahnya).”

Dulu sebagian kita mungkin pernah berpikir seandainya kita memiliki cukup pengetahuan, maka relative mudah untuk memprediksi masa depan? Tapia apa yang terjadi dengan orang-orang yang dianggap paling berpengetahuan, pakar-pakar dengan atribut akademis lengkap sampai tingkat doctoral. Tidakkah kita menemukan bahwa ternyata mereka juga tidak bisa mendeskripsikan masa depan kita semua.
Sungguh tidak mudah mendefinisikan sebuah zaman. Dan pekerjaan yang tidak mudah itu adalah tanggung jawab pertama seorang pemimpin. Ia harus mendefinisikan realitas, Ia harus belajar banyak dari sejarah, tetapi tidak terpasung oleh catatan sejarah. Ia harus menedefinisikan realitas masa kini, memahami makna berbagai belahan dunia.
Pertama, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu belajar untuk lebih banyak mendengarkan (listening). Ia ahrus belajar mendengarkan “suara-suara”. Termasuk dalam “suara-suara” itu adalah “suara” dari yang Gaib (Tuhan), suara hati nuraninya (bila masih fungsional), dan suara kontituen potensialnya (entah itu rakyat, umat, pegawai, atau komunitas lainnya). Dalam proses mendengarkan nini ia mungkin juga perlu banyak membaca. Tetapi yang lebih penting mungkin adalah merenung-renungkan, berkontemplasi, menelusuri, lalu membedakan antara yang essensial dan yang tidak essensial.

Kedua, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu belajar untuk berempati, terutama berempati pada konstituen potensialnya. Ia harus mampu merasakan secara emosional berbagai jeritan hati dan penderitaan, sekaligus berbagai macam harapan dan impian konstituennya. Tidak cukup sekadar “tahu”, harus sampai “rasa”.
Ketiga, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu selalu mengembangkan kesadaran (awareness) yang lebih besar, terutama mengenai dirinya (self-awareness) itu apa dan siapa. Ia masuk ke dalam kemanusiaannya sendiri, dan dengan cara itu ia makin menegaskan harkat dan martabat dirinya sebagai pertama-tama manusia, sama seperti konstituen yang ingin dilkayaninya.
Keempat, untuk dapat mendefinisikan realitas pemimpin perlu mengasah mata batinnya (eye of spirit), menerobos kungkungan masa kini menuju masa depan yang lebih manusiawi. Dengan cara ini ia dimungkinkan untuk merumuskan konsep (conceptualization), yang kemudiandisusun menjadi “visi”-nya (vision statement).
Banyak mendengarkan, berempati, awareness, dan melihat dengan mata batin, itulah yang saya kira menolong para pemimpin untuk mampu mendefinisikan realitas, menunaikan tanggung jawabnya yang peetama. Bila hipoteesis tersebut dapat diterima, maka kita mungkin dapat kembali menyadari betapa langkanya manusia yang disebut pemimpin itu di negeri kita. Kita begitu banyak memiliki pejabat, yakni pemangku jabatan kepemimpinan, tetapi sulit menemukan orang-orang yang mau sungguh-sungguh mendengarka. Kalau ada pertemuan yang dihadiri para pejabat, maka mereka biasanya justru diberi banyak kesempatan untuk (dan maunya memang berbicara), memberikan “pengarahan”, “petunjuk”, dan sebangsanya. Padahal kebutuhan kita yang utama adalah “didengarkan”, “dimengerti”, dan “dipahami”, bukan “dikuliahi”.
Kita begitu banyak “atasan” atau “bos”, tetapi begitu sulit mencari mereka yang mampu berempati. Kebanyakan “atasan” dan “bos” kita memang “tahu” apa yang kita rasakan, tetapi tidak “merasakan” apa yang kita rasakan. Mereka “tahu” betapa menderitanya pegawai-pegawai kecil, pengajar-pengajar sekolahan, pengusaha skala mikro/kecil, bila harga-harga membumbung, tarif listrik-BBM-telepon naik sambung-menyambung, tetapi mereka “tidak sampai merasakan” semua itu.

“Atasan dan “bos” kita juga sering menunjukkan tanda-tanda “lupa diri”. Ketika banyak anggota masyarakat kehilangan penghasilan utama, kaum “bos” dan “atasan” itu masih saja melancong ke mancanegara, pamer kemampuan membeli mobil mewah, mengadakan pesta-pesta yang sangat “wah” tanapa sedikitpun bersifat krusial, dan berbagai prilaku kasat mata yang tidak menunjukkan kesadaran diri bahwa mereka hidup dalam lingkungan masyarakat yang sedang sangat menderita, dan semakin menderita menyaksikan sikap dan prilaku mereka yang tidak menunjukkan entah itu sense of crisis, sense of urgency, atau sense-sense lainnya. Sepertinya mereka justru kehilangan commonsense (akal sehat)-nya.

Selasa, 14 Agustus 2007

Indera Pemimpin

“Tanpa kepemimpinan , organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bengkitnya sebuah tirani.”
Kalimat pendek tersebut menegaskan kembali adanya hubungan yang sangat erat anatara kepemimpianan (leadership) dengan pelayanan (service). Agar seorang pemimpin sejati tidak beralih wujud menjadi tiran dan / atau dictator yang suka memaksakan kehendak kepada konstituen yang mengikutinya, maka perlu dipastikan behwa ia memiliki hati yang senantiasa melayani. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistic dan selfish, bukan ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan berkuasa.
Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar, terutama Islam dan Kristiani, namun mungkin juga Hindu, Konfusianisme, dan Budhisme. Tak seorangpun dianatara guru umat manusia itu yang tidak mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituen yang mengikutinya dengan hati tulus dan setia, nyaris tanpa pamrih material.

Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian belajar melayani, melainkan mereka layani dulu untuk kemudian diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi). Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri meraka sebagai “pelayan”, khusunya pelayan atau hamba Allah Yang Maha Esa. Dan karena Allah “mengutus” mereka ke dunia, maka demi Allah mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu.
Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat siap diaplikasikan dalam konteks wacana kepemimpinan mileinnium ketiga. Berbagai ajaran “sesat” yang membuang agama ke pinggir karena kehidupan terbukti keok di tengah jalan (komunisme adalah contoh yang kongkret). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam masyarakat modern dan pascamodern setelah berbagai “eksperimentasi” dalam memposisikan manusia sebagai the ideological man-nya Orde Lama.


Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acap kali dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian mereka yang menjadi pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi barat maupun timur, pemimpin acap kali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari “kasta tertinggi” sementara konstituennya adalah “kasta rendah” yang harus menerima diperlakukan sebagai “alat”, “organ”, atau “objek”. Pandangan ini “berhasil” melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lazim dan seweang-wenang. Namun dewasa ini pandangan demikian talah kehilangan argumentasi untuk dpat dipertahankan. Kesetaraan dalam hubungan antar manusia telah menjadi kesadran global yang menolak penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar apapun (jenis kelamin, ras, agama, suku, warna kulit, “barat” atau “timur”, dsb).

Hal tersebut mengingatkan kita akan sebuah adagium landasan filosofis yang mengajarkan kita terhadap perspektif kehidupan yang realitasnya kehidupan sosial sangatlah mempengaruhi kita akan keberhasilan secara hiolistik.