“Tanpa kepemimpinan , organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bengkitnya sebuah tirani.”
Kalimat pendek tersebut menegaskan kembali adanya hubungan yang sangat erat anatara kepemimpianan (leadership) dengan pelayanan (service). Agar seorang pemimpin sejati tidak beralih wujud menjadi tiran dan / atau dictator yang suka memaksakan kehendak kepada konstituen yang mengikutinya, maka perlu dipastikan behwa ia memiliki hati yang senantiasa melayani. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistic dan selfish, bukan ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan berkuasa.
Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar, terutama Islam dan Kristiani, namun mungkin juga Hindu, Konfusianisme, dan Budhisme. Tak seorangpun dianatara guru umat manusia itu yang tidak mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituen yang mengikutinya dengan hati tulus dan setia, nyaris tanpa pamrih material.
Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian belajar melayani, melainkan mereka layani dulu untuk kemudian diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi). Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri meraka sebagai “pelayan”, khusunya pelayan atau hamba Allah Yang Maha Esa. Dan karena Allah “mengutus” mereka ke dunia, maka demi Allah mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu.
Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat siap diaplikasikan dalam konteks wacana kepemimpinan mileinnium ketiga. Berbagai ajaran “sesat” yang membuang agama ke pinggir karena kehidupan terbukti keok di tengah jalan (komunisme adalah contoh yang kongkret). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam masyarakat modern dan pascamodern setelah berbagai “eksperimentasi” dalam memposisikan manusia sebagai the ideological man-nya Orde Lama.
Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acap kali dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian mereka yang menjadi pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi barat maupun timur, pemimpin acap kali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari “kasta tertinggi” sementara konstituennya adalah “kasta rendah” yang harus menerima diperlakukan sebagai “alat”, “organ”, atau “objek”. Pandangan ini “berhasil” melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lazim dan seweang-wenang. Namun dewasa ini pandangan demikian talah kehilangan argumentasi untuk dpat dipertahankan. Kesetaraan dalam hubungan antar manusia telah menjadi kesadran global yang menolak penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar apapun (jenis kelamin, ras, agama, suku, warna kulit, “barat” atau “timur”, dsb).
Hal tersebut mengingatkan kita akan sebuah adagium landasan filosofis yang mengajarkan kita terhadap perspektif kehidupan yang realitasnya kehidupan sosial sangatlah mempengaruhi kita akan keberhasilan secara hiolistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar