“Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah mengucapkan terima kasih. Dan diantara kedua hal terebut Pemimpin adalah seorang pelayan (A servant) dan seorang yang berhutang (A debtor).
Tidak mudah mendefinisikan zaman ini. Pada satu sisi, banyak orang berbicara atau menulis soal “kematian” dimana-mana. Pada sisi lain, orang bicara dan menulis tentang segala sesuatu yang “serba baru”, dan sebagainya. Di sdudut yang satu orang-orang berteriak “globalisasi”, sementara pada saat yang bersamaan berkumandang teriakan tandingan “otonomi daerah”. Orang juga bicara soal pentingnya “focus” dan “loyality”, tetapi yang serbamulti juga marak seperti: multilevel marketing, multi income, multicareer, sampai multi culturalism.
Menyebut zaman ini sebagai era informasi atau era pengetahuan pun tidak membuat kita mudah memahami maknanya. Sebab pada satu sisi kita dibanjiri oleh begitu banyak informasi dan pengetahuan yang begitu mudah diakses dari sumber-sumber pertama yang berada disudut-sudut global village mesti secara geografios letaknya dipisahkan oleh samudra luas antar-benua. Pengetahuan dunia ada diujung jari para pengguna internet yang jumlahnya terus berkembang secara eksponensial. Namun, pada sisi lain banjir data, informasi, dan pengetahuan itu justru membuat kita bingung untuk dapat memilih mana yang sebenarnya berguna dan man yang tidak berguna sama sekali. Kita semakin justru semakin kurang pengetahuan, pada saat pengetahuan itu berlebih-lebihan. Begitulah, kalau kita mengejar data, informasi ,dan pengetahuan sampai ke Amerika dan Eropa, maka sekarang informasi, data, dan pengetahuan “mengejar” kita sampai ke wilayah-wilayah yang bersifat pribadi disudut-sudut rumah kita (ingat, e-mail dan SMS dapat menjangkau banyak orang, bahkan ketika mereka sedang berada si WC rumahnya).”
Dulu sebagian kita mungkin pernah berpikir seandainya kita memiliki cukup pengetahuan, maka relative mudah untuk memprediksi masa depan? Tapia apa yang terjadi dengan orang-orang yang dianggap paling berpengetahuan, pakar-pakar dengan atribut akademis lengkap sampai tingkat doctoral. Tidakkah kita menemukan bahwa ternyata mereka juga tidak bisa mendeskripsikan masa depan kita semua.
Sungguh tidak mudah mendefinisikan sebuah zaman. Dan pekerjaan yang tidak mudah itu adalah tanggung jawab pertama seorang pemimpin. Ia harus mendefinisikan realitas, Ia harus belajar banyak dari sejarah, tetapi tidak terpasung oleh catatan sejarah. Ia harus menedefinisikan realitas masa kini, memahami makna berbagai belahan dunia.
Pertama, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu belajar untuk lebih banyak mendengarkan (listening). Ia ahrus belajar mendengarkan “suara-suara”. Termasuk dalam “suara-suara” itu adalah “suara” dari yang Gaib (Tuhan), suara hati nuraninya (bila masih fungsional), dan suara kontituen potensialnya (entah itu rakyat, umat, pegawai, atau komunitas lainnya). Dalam proses mendengarkan nini ia mungkin juga perlu banyak membaca. Tetapi yang lebih penting mungkin adalah merenung-renungkan, berkontemplasi, menelusuri, lalu membedakan antara yang essensial dan yang tidak essensial.
Kedua, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu belajar untuk berempati, terutama berempati pada konstituen potensialnya. Ia harus mampu merasakan secara emosional berbagai jeritan hati dan penderitaan, sekaligus berbagai macam harapan dan impian konstituennya. Tidak cukup sekadar “tahu”, harus sampai “rasa”.
Ketiga, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu selalu mengembangkan kesadaran (awareness) yang lebih besar, terutama mengenai dirinya (self-awareness) itu apa dan siapa. Ia masuk ke dalam kemanusiaannya sendiri, dan dengan cara itu ia makin menegaskan harkat dan martabat dirinya sebagai pertama-tama manusia, sama seperti konstituen yang ingin dilkayaninya.
Keempat, untuk dapat mendefinisikan realitas pemimpin perlu mengasah mata batinnya (eye of spirit), menerobos kungkungan masa kini menuju masa depan yang lebih manusiawi. Dengan cara ini ia dimungkinkan untuk merumuskan konsep (conceptualization), yang kemudiandisusun menjadi “visi”-nya (vision statement).
Banyak mendengarkan, berempati, awareness, dan melihat dengan mata batin, itulah yang saya kira menolong para pemimpin untuk mampu mendefinisikan realitas, menunaikan tanggung jawabnya yang peetama. Bila hipoteesis tersebut dapat diterima, maka kita mungkin dapat kembali menyadari betapa langkanya manusia yang disebut pemimpin itu di negeri kita. Kita begitu banyak memiliki pejabat, yakni pemangku jabatan kepemimpinan, tetapi sulit menemukan orang-orang yang mau sungguh-sungguh mendengarka. Kalau ada pertemuan yang dihadiri para pejabat, maka mereka biasanya justru diberi banyak kesempatan untuk (dan maunya memang berbicara), memberikan “pengarahan”, “petunjuk”, dan sebangsanya. Padahal kebutuhan kita yang utama adalah “didengarkan”, “dimengerti”, dan “dipahami”, bukan “dikuliahi”.
Kita begitu banyak “atasan” atau “bos”, tetapi begitu sulit mencari mereka yang mampu berempati. Kebanyakan “atasan” dan “bos” kita memang “tahu” apa yang kita rasakan, tetapi tidak “merasakan” apa yang kita rasakan. Mereka “tahu” betapa menderitanya pegawai-pegawai kecil, pengajar-pengajar sekolahan, pengusaha skala mikro/kecil, bila harga-harga membumbung, tarif listrik-BBM-telepon naik sambung-menyambung, tetapi mereka “tidak sampai merasakan” semua itu.
“Atasan dan “bos” kita juga sering menunjukkan tanda-tanda “lupa diri”. Ketika banyak anggota masyarakat kehilangan penghasilan utama, kaum “bos” dan “atasan” itu masih saja melancong ke mancanegara, pamer kemampuan membeli mobil mewah, mengadakan pesta-pesta yang sangat “wah” tanapa sedikitpun bersifat krusial, dan berbagai prilaku kasat mata yang tidak menunjukkan kesadaran diri bahwa mereka hidup dalam lingkungan masyarakat yang sedang sangat menderita, dan semakin menderita menyaksikan sikap dan prilaku mereka yang tidak menunjukkan entah itu sense of crisis, sense of urgency, atau sense-sense lainnya. Sepertinya mereka justru kehilangan commonsense (akal sehat)-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar