“Hitam putihnya sebuah organisasi, baik yang prolaba maupun yang nirlaba, dalam skala mikro maupun makro [termasuk Negara], tergantung pada kiprah para pemimpinnya. Inilah semacam adagium standar tentang krusialnya peran pemimpin, tentang sentralnya pengaruh pemimpin.
Untuk bangkit dan berjaya menjadi bangsa besar, Indonesia kini butuh sejuta pemimpin baru, sejuta program persemaian dan pelatihan kepemimp-inan baru, dan sejuta lagi judul buku baru tentang kepemimpinan. Dalam rangka inilah semua perlu memahami essensi peran seorang pemimpin. Guna suatu revolusi besar-besaran untuk kemajuan dan terciptanya performa puncak dalam basis kompetensi dunia yang semakin panasnya akibat ulah manusia yang lupa atau bahkan buta akan suatu nilai kebenaran dan keadilan.
Siapapun Anda, apa pun kini peran dan kedudukan Anda, saya berpendapat dengan pemahaman tersebut maka kita akan lebih bijak sebagai manusia dan efektif sebagai pemimpin. Percayalah!
”Masalah utama dan pertama dalam proses manajemen sebuah perubahan adalah saberapa melek “mata” para pemimpin kita dan seberapa kuat disiplin diri mereka untuk mengendalikan hawa nafsunya.”
“Perubahan adalah salah satu kata yang paling banyak digunakan orang dalam proses menuju Indonesia Baru. Dalam hampir semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat Indonesia agaknya telah sepakat bahwa untuk membuat Indonesia menjadi Negara yang besar sesuai dengan potensinya, ada banyak hal yang harus diubah, diganti, diperbarui, direformasi, direkayasa lagi, didefinisikan ulang, bahkan “diciptakan” kembali. Dalam bahasa mahasiswanya, yang dianggap mewakili suara hati nurani rakyat, yang diperlukan bukanlah perbaikan tambal-sulam, buka evolusi atau semacam continious improvement, tetapi suatu “reformasi total”, sesuatu yang “revolusioner”, lompatan kuantum, dan karenanya “radikal”.
Ketika deru topan tuntunan reformasi total sedang kencang-kencangnya, Like Wilardjo menyimpulkan secara tajam apa yang sesungguhnya diperjuangkan oleh para perintis perubahan itu, yakni bahwa: “tokoh-tokoh perintis perubahan ini dengan ancangannya sendiri-sendiri dan melalui isu sentral pilihannya masing-masing, berusaha keras mencelikkan mata kita akan adanya ancaman besar terhadap kemanusiaan dan kelangsungan hidup manusia. Ancaman itu bersumber pada kecadokan alias rabun pandangan dan kerakusan para penguasa dunia dan kaum elite kaya raya di utara, beserta koprador-kompradornya di dunia ketiga.”
Kata-kata “dengan ancangannya sendiri-sendiri dan melalui isu sentral pilihannya masing-masing” mengaskan bahwa perubahan dapat dimulai, dirintis, diperjuangkan melalui suatu bidang kepakaran dalam (kompetensi), satu hal yang disesuaikan dengan minat, bakat, talenta, concern, atau bahkan semacam “panggilan jiwa” masing-masing orang, baik secara personal maupun kelompok-organisasional, atau bahkan sebuah masyarakat-bangsa. Merintis perubahan bukanlah urusan segelintir orang yang “hebat” dan “superior”, tetapi urusan semua orang. Semua orang berpotensi untuk menjadi pioneer, agent of change, perintis perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Ilmuan, cendekiawan, politikus, dokter, ekonom, sosiolog, psikolog, pakar hokum, akuntan, wartawan, pengajar dan sebagainya, dapat (tidak harus) menjadi actor perintis perubahan. Pelajar, mahasiswa, atau bahkan masyarakat awam, rakyat jelata, juga berpotensi untuk melakukan hal itu.
Selanjutnya, kata-kata ”berusaha keras mencelikkan mata kita akan adanya ancaman besar terhadap kemanusiaan dan kelnagsungan hidup manusia” menegaskan tujuan dasar dari perjuangan merintis perubahan. Tujuan itu berkaitan den pemahaman terhadap suatu realitas, situasi dan kondisi, kebagaimanaan masa kini, yang mengandung bajhaya besar, yang berpotensi mengganggu ketentraman, yang mengancam hidup dan kehidupan manusia di masa depan. Tujuan itu berkaitan dengan upaya penyadaran untuk menyingkap tabir yang menutupi mata batin (eye of spirit), agar orang banyak dapat “membaca” tanda-tanda zaman, antisipasi, dan melakukan tindakan preventif-konstruktif untuk mencegah malapetaka yang lebih besar.
Celakanya, “ancaman itu bersumber pada pecadokan alias rabun pandangan dan kerakusan para penguasa dunia dan kaum elite kaya raya di utara beserta komprador-kopradornya di duni ketiga.” Pernyataan ini menegaskan bahwa musuh terbesar para perintis perubahan itu adalah pemegang teguh status quo, kelompok mapan yang berkuasa dan konglongmerat yang menjadi kroninya, yang tidak beridir sendiri, tetapi memiliki jaringan Internasional-global seperti mafia, yakuza, triad, dan sebagainya. Dan mungkin itu salah satu sebab utama mengapa para perintis perubahan diposisikan (bukan memposisikan diri) sebagai “oposisi”.
TOLERAN DAN TERPERCAYA
Kita ini bangsa yang multikultur, dan karenanya memiliki multi potensi. Kondisi yang serba multi itu tidak saja bisa berarti “berkat” tetapi juga “kutuk”. Bila sikap yang toleran yang antara lain ditandai kemampuan untuk saling mendengarkan, kerendahan hati, kemampuan menahan diri, berpikir kreatif-alternatif, dan keberanian menerima tanggung jawab (mengambing hitamkan diri atau kelompok sendiri), bisa ditumbuh-kembangkan dalam satu-dua decade kedepan, maka Indonesia baru akan mewujud dan tidak berubah menjadi Indonesia kotor (berantakkan menjadi bagian dari the forgetten countries seperti beberapa negara di Afrika). Bila sikap toleran tidak bisa kita kembangkan, m,aka multikultur hanya akan berarti “kutuk”. Kita perlu belajar menghentikan rasa diri (kelompok primordial) “unggul”, “superior”, “paling benar”, dan “paling berhak”, atau “paling reformis”. Kita harus belajar membuka pikiran dan hati kita dan mengakui kemungkinan melakukan berbagai bentuk kesalahan dalam mempersepsi persoalan, sekalipun kita tidak berangkat dari niat yang jahat.
Dalam konteks bisnis, jika slogan bersih, transparan, professional bisa diimplementasikan dan bukan hanya sekedar wacana tanpa akhir, maka hri dmi hari harapan kita dapat tumbuh secara wajar (tidak instant). Lalu, kita mungkin dapat memperoleh kembali “harta karun” milik kita bersama yang lama hilang, yakni kepercayaan kepada Tuhan dn kepada sesame anak bangsa (manusia). Untuk itu tak bisa lain kita harus saling mengingatkan dan saling bahu membahu menjadikan diri kita ini terpercaya (turstworthy). Integritas, karakter terpuji, dan kepribadian yang jujur perlu dijadikan pondasi bagi pengembangan kecerdasan intelektual atau berbagai bentuk kecerdasan lainnya. Kita perlu belajar mengumpulkan kembali serpihan-serpihajn kepribadian kita yang hancur berantakkan ditelan uniformitas yang dipaksakan. Kita memerlukan avidence nyata bahwa menjadi politisi atau konglongmerat tak harus “marchiavelian” (menghalalkan cara).
Hemat saya, jika sikap toleran dan terpercaya (trustworthy) ini bisa kita tanamkan kepada generasi muda di bawah usia 40-an, maka visi tentang masyarakat, warga, masyarakat madani, atau masyarakat autentik adalah “bayi” yang akan kita saksikan kelahirannya dalam 2-3 dekade mendatang.
Benarkah????...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar